Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridlai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu.
Setiap bulan Desember umat
Islam selalu dihadapkan fitnah yan bisa mengancam aqidahnya. Dengan
dalih toleransi dan kerukunan beragama, umat Islam diseret turut serta
terlibat dalam perayaan Natal bersama. Bahkan seolah menjadi ritual
wajib, pejabat yang menduduki jabatan publik harus ikut hadir.
Ironisnya, ada saja di antara tokoh umat yang menyerukan kebolehan
terlibat dalam perayaan Natal. Bahkan beberapa tahun lalu, ketua sebuah
ormas Islam mempersilakan semua fasilitas organisasinya minus masjid
digunakan sebagai perayaan Natal.
Haram Terlibat dalam Perayaan
Kufur
Bagi kaum Muslim seharusnya
senantiasa mengikatkan dirinya dengan hukum syara’. Dan hukum syara’
mengenai persoalan tersebut sesungguhnya telah jelas: haram. Kaum muslim
diharamkan melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang
kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas:
mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat
perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya.
Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh
perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang
berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik
maupun ahlul kitab).
Ketentuan tersebut didasarkan
pada firman Allah swt: al-ladzîna lâ yasyhadûna al-zûr (QS
al-Furqan [25]: 72). Ayat ini menjelaskan tentang salah satu
dari sifat ‘ibâd al-Rahmân.
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zûr (kepalsuan)
di sini adalah syirik. Demikian papar al-Syaukani
dalam kitab tafsirnay, Fath al-Qadîr.. Ibnu
Katsir dalam tafsirnya Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm menyitir
pendapat beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin
Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di
sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays
menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor.
Sedangkan kata lâ
yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr, tidak
menghadirinya. Demikian penjelasan al-Syaukani
dalam Fath al-Qadîr.
Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian
palsu (syahâdah al-zûr)
yang di dalam Hadits Shahih dikategorikan sebagai dosa besar.
Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat jika dimaknai lâ yahdhurûnahu, tidak
menghadirinya. Sebab, dalam frasa berikutnya disebutkan: “Dan
apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya” (TQS al-Furqan [25]: 72).
Dengan demikian, keseluruhan
ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri al-zûr. Dan
jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau
terkotori sedikit pun olehnya (lihat Imam
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
juz 3, hal. 1346).
Berdasarkan ayat ini pula,
banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan
hari raya kaum kafir. Ibnu Taimiyyah
menyitir penjelasan beberapa ulama terkemuka mengenai persoalan ini.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan
untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.“ (lihat
Iqtidhâ’ al-Shirâth
al-Mustaqîm, hal.201).
Imam Baihaqi
menyatakan, “Jika kaum Muslim diharamkan
memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” (lihat Iqtidhâ’
al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Sedangkan Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah dalam Ahkâm Ahl al-Dzimmah menyitir penjelasan yang
dikemukakan Abu al-Qasim al-Thabari.
Beliau berkata, “Tidak diperbolehkan bagi
kaum Muslim menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam
kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila
ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka
ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridlai dan terpengaruh
dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka Allah atas
jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Allah
dari murka-Nya, juz 1. hal. 235).
Pada masa-masa kejayaan
Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah SAW –, kaum
muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum
musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah,
mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau pun bersabda:
“Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang
yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Adha.”
(HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i
dengan sanad yang shahih).
Pada masa pemerintahan
Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum Muslim merayakan hari raya
orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan
sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata, “Janganlah
kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian
memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka.
Sesungguhnya murka Allah SWT akan turun kepada mereka
pada hari itu.” (HR. Baihaqi). Beliau juga mengatakan:
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”
Jelaslah, Islam telah
melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang
kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan;
mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat
perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya.
Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan
hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan
dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Melenyapkan Syubhat
Di antara ayat sering
digunakan untuk melegitimasi bolehnya mengucapkan selamat natal adalah
firman Allah Swt: “Dan
kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan,
pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”
(TQS Maryam [19]: 33).
Ayat ini sama sekali tidak
menunjukkan kebolehan mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani. Di
dalam ayat ini memang disebutkan tentang keselamatan pada hari kelahiran
Isa. Akan tetapi, itu memberitakan keselamatan Nabi Isa ketika beliau
dilahirkan, diwafatkan dan dibangkitkan. Tidak ada kaitannya dengan
ucapan selamat Natal. Sebab, Natal adalah perayaan dalam rangka
memperingati kelahiran Yesus di Bethlehem. Sejak abad keempat Masehi,
pesta atau perayaan natal ditetapkan tanggal 25 Desember, menggantikan
perayaan Natalis Solis Invioti (kelahiran matahari yang yang
tak terkalahkan).
Telah maklum, bahwa keyakinan
Nasrani terhadap Isa as –yang mereka sebut Yesus– adalah sebagai Tuhan.
Dan keyakinan ini menjadi salah satu penyebab kekufuran mereka. Banyak
sekali ayat menegaskan hal ini, seperti firman QS al-Maidah [5]: 72, QS
al-Maidah [5]: 73-74).
Bertolak dari fakta tersebut,
perayaan Natal yang merayakan ‘kelahiran Tuhan’ merupakan sebuah
kemunkaran besar. Sikap yang seharusnya dilakukan kaum Muslim terhadap
pelakunya adalah menjelaskan kesesatan mereka dan mengajak mereka ke
jalan yang benar, Islam. Bukan malah mengucapkan selamat terhadap
mereka. Tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sikap ridha dan
cenderung terhadap kemunkaran besar yang mereka lakukan. Padahal Allah
Swt berfirman:“Dan janganlah kamu cenderung
kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api
neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain
daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”
(TQS Hud [11]: 113).
Menurut Abu al-Aliyah, makna
kata al-rukûn adalah ridla. Artinya ridla terhadap perbuatan
orang-orang zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl
(cenderung). Sedangkan
menurut al-Zamakhsyari, al-rukûn tak
sekadar al-mayl, namun al-mayl
al-yasîr (kecenderungan ringan). Ini berarti, setiap Muslim
wajib membebaskan dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik,
namun sekadar kecenderungan sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.
Jelaslah, haram hukumnya kaum
Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum kaum kafir, baik Musyrik
maupun Ahli Kitab. Wal-Lâh a’lam bi al-Shawâb. (Abu
Burhan dan Abu Said)